Lanjut ke konten

HAK ANAK YANG HARUS DITUNAIKAN

26 Maret 2010
tags:

HAK ANAK YANG HARUS DITUNAIKAN

MEMILIHKAN IBU YANG SHOLIHAH

Umar bin Khotob berkata:”Hak anak atas orang tuanya adalah meilihkan ibu yang sholihah, mengajarkan Al Qur’an dan memilihkan nama yang baik”.(Kaifa Turobbi waladan sholihan oleh Al Maghribi).

Kita perlu mengerti bertanya mengapa Umar menyebutkan hak anak yang pertama kali adalah memilihkan ibu yang sholihah? Apa rahasia dibalik pemenuhan hak ini? Bagaimana memilihkan ibu untuk buah hati kita?

Dari perkataan Umar bin Khotob itu menunjukkan betapa dalam kandungan pemikirannya. Karena kebaikan anak sangat bergantung dari kebaikan ibunya. Ibunya baik maka anaknya akan baik. Karena ibu yang baik akan memberikan perhatian yang serius bagi pendidikan anak-anaknya. Bahkan dia akan mengajar dan mendidik anaknya dengan kebiasaan yang baik.

Ibu yang baik, akan menjadi guru bagi anak-anaknya. Ibu merupakan sekolah bagi anak-anaknya. Anak akan menyerap semua dari kebiasaan ibunya. Anak bukan sekedar menyusu asinya, tapi juga menyusu akhlak dan kepribadian ibunya. Maka penyair arab mengatakan:

Ibu adalah sekolah

Jika engkau menyiapkannya

Maka engkau telah menyiapkan generasi yang baik dan tangguh

Ibu adalah penentu dan pengukir kepribadian  anak-anaknya. Kalau dia mengajarkan kebaikan kepada anak-anaknya, maka dia telah mengukir kebaikan kepada anak-anaknya. Begitu juga sebaliknya. Maka sebagian para ulama’ mengatakan mendidik itu seperti menanam benih. Orang yang akan menanam tentu akan memilih lahan yang gembur agar tanamannya subur, tumbuh dengan lebat dan berbuah dengan memuaskan. Demikian juga mendidik anak, maka kita disuruh untuk memilihkan ibu yang cerdik dan pandai lagi sholihah.

Maka rosululloh bersabda;”Pilihlah tempat mani kalian” (HR.Ibnu Majah, Ash Shohihah no.1067).

Maksudnya pilihlah istri tempat kalian menanam benih (anak-anak) kalian. Menikah bukanlah hanya sekedar untuk melampiaskan syahwat saja, namun untuk kebaikan keluarga dan anak-anak. Menikah bukan hanya untuk kepentingan pribadi saja tapi untuk kepentingan keluarga dan anak-anak.

Maka Rosululloh mengingatkan agar kita hati-hati dari memilih wanita yang cantik tapi tidak sholihah. Beliau bersabda,”hati-hati kalian dari menikahi hadhroud diman”. Shahabat bertanya, “apa itu ya Rosululloh?”  Beliau menjawab,”Wanita cantik yang tumbuh dari lingkungan yang buruk”. (HR.Al Qodhoi, Didhoifkan Al Bani  dalam Adh dhoifah1/24).

Wanita seperti ini akan menjadi bumerang atau buah simalakama bagi yang menikahinya. Mau dicerai sayang, tak dicerai makan hati tiap hari. Tak bisa mendidik anak, tak ada hormat kepada suami, suka mengeluh dan mengeluh, tapi kecantikannya memikat hati. Maka tersiksalah orang yang memilihnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya.

Baca selengkapnya…

SI SUKSES DAN SI GAGAL

15 Maret 2010
tags:

SI SUKSES DAN SI GAGAL

Sukses itu adalah mereka yang berfikir dalam memecahkan masalah, Gagal itu adalah yang berfikir dalam masalah

Sukses itu tak kehabisan ide,

Gagal itu tak pernah habis udzurnya

Sukses itu melihat jalan keluar dalam masalah

Gagal itu melihat masalah dalam jalan keluar

Sukses itu berkata, jalan keluar itu sulit tapi mungkin dilakukan

Gagal itu berkata, jalan keluar itu mungkin tapi sulit

Sukses itu memiliki cita-cita yang akan diwujudkan

Gagal itu memilikli angan-angan dan mimpi yang mengacaukan

Sukses itu berkata, bergaullah dg manusia dg pergaulan yang kamu suka diperlakukan

Gagal itu berkata,tipulah manusia sebelum manusia menipumu

Sukses itu melihat adanya cita-cita dalam pekerjaannya

Gagal itu melihat kesusahan dalam pekerjaannya

Sukses itu melihat masa yang akan datang dan merencanakan langkah-langkahnya untuk mewujudkannya

Gagal itu melihat masa lalu dan tenggelam dengannya

Sukses itu memilih apa yang dia katakana

Gagal itu mengatakan apa yang dia pilih

Sukses itu berdebat dengan kemampuan dan bahasa yang lembut

Gagal itu berdebat dengan kelemahan dan bahasa yang kasar

Sukses itu membuat peristiwa

Gagal itu dibentuk peristiwa

Disadur dr.majalh Qiblati vol.02/no.01/10-2006/09-1427 oleh Imam Zuhair, Pembina Tahfidz di Makkah Al Mukarramah.

Oleh Yusuf Iskandar

KITA HIDUP UNTUK PERKARA BESAR

22 Februari 2010


Sering  kita mendapatkan seseorang memasang tenda biru, dengan kursi yang tersusun rapi serta dekorasi yang rapi nan apik. Ditambah lagi sound system yang sudah terpasang, tentu kita sudah bisa menangkap akan ada hajatan. Entah itu pernikahan atau hajatan yang lainnya. Intinya semuanya tersedia dengan rapi dan indah pasti ada tujuan  jelas.

Demikian juga, keberadaan langit dan bumi, matahari dan bulan, gunung dan lautan, siang dan malam serta penghuninya yang terdiri dari hewan dan tumbuhan serta manusia. Tentu semua ini sudah ada yang merancang sebelumnya. Dan tentu sudah ada kejelasan tujuan. Namun apakah kita sudah tahu apa tujuan diciptakan semua ini?

Ada manusia yang sangat peduli untuk memikirkan fenomena alam, mereka meneliti, memikirkan kerapian dan kerumitan serta keindahannya. Mereka pun berkesimpulan semua ini pasti sudah ada yang merancangnya. Dia mengagumi pencipta sekaligus perancangnya. Dia berusaha mengenalnya dengan segala keterbatasan akal dan pikirannya. Dia senantiasa gelisah, resah hingga dia mendapatkan jawaban semua yang mengusik pikirannya.

Mereka mengandalkan kejeniusan pikirannya dalam mencari perancang dan pencipta alam ini, namun hanya kenihilan dan ketidakpastian yang mereka dapatkan. Mereka hanya menyimpulkan penciptanya tidak lain adalah yang memiliki kesempurnaan, dan memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Tapi siapakah dia? Untuk apakah semua ini diciptakan? Bagaimana dia menciptakan semua ini? Dan kapan dia menciptakan ini semua?

Demi Allah mereka tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan dari  seluruh pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya, kecuali jawaban dari wahyu ilahi

Sesungguhnya di dalam seluruh kitab suci yang di bawa oleh para nabi dan para rosul telah menjawab semua pertanyaan yang mengusik para pemikir yang sedang  kebingungan ini. Baca selengkapnya…

Goresan Nasehat untuk Wanita Karir

26 Maret 2010

Goresan Nasehat untuk Wanita Karir

Fenomena wanita berkarir sebenarmya bukanlah fenomena yang baru muncul kemarin sore, melainkan sejak zaman awal diciptakannya manusia. Hanya cara dan istilahnya yang berbeda pada masing masing zaman. Dan hal yang perlu diperhatikan oleh kita semua khususnya para Muslimah terkait fenomena tersebut adalah tentang bagaimana cara wanita berkarir dalam pandangan Islam. Apa–apa saja yang diperbolehkan dan dilarang dalam Islam terkait wanita berkarir.

Gejolak tentang karir wanita dan wanita karir dewasa ini semakin hangat, juga di negara Indonesia yang kita cintai ini. Banyak kalangan yang serius mencurahkan perhatiannya akan masalah ini, termasuk juga komunitas yang menamakan diri mereka kaum Feminis dan pemerhati wanita.

Mereka sering mengusung tema “pengungkungan” Islam terhadap wanita dan mempromosikan motto emansipasi dan persamaan hak di segala bidang tanpa terkecuali atau lebih dikenal dengan sebutan kesetaraan gender. Banyak wanita muslimah terkecoh olehnya, terutama mereka yang tidak memiliki basic ilmu pemahaman keagamaan yang kuat dan memadai.

Semoga tulisan ini menggugah wanita-wanita muslimah untuk kembali kepada fithrah mereka dan memahami hak dan kewajiban Allah atas dirinya . Amîn.

Kondisi Wanita di Dunia Barat

  • Dari sisi historis, terjunnya kaum wanita ke lapangan untuk bekerja dan berkarir semata-mata karena unsur keterpaksaan. Ada dua hal penting yang melatarbelakanginya: Pertama, terjadinya revolusi industri yang mengundang arus urbanisasi kaum petani pedesaan, tergiur untuk mengadu nasib di perkotaan, karena himpitan sistem kapitalis yang melahirkan tuan-tuan tanah yang rakus. Berangkat ke perkotaan mereka berharap mendapatkan kehidupan yang lebih layak namun realitanya, justru semakin sengsara terpuruk dan menghinakan diri dengan menjadi budak pemilik harta. Mereka mendapat upah yang rendah,dan kadang diperlakukan dengan semena-mena layaknya budak dan tuan.
    Baca selengkapnya…

AGUNGKAN ILMU DALAM HATIMU

20 Februari 2010

Agungkan Ilmu dalam Hatimu

Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran

Dunia, memang masih menjadi orientasi utama banyak orang. Tak heran, harta yang berlimpah, jabatan, popularitas, dan berbagai bentuk kesenangan lainnya menjadi buruan manusia siang malam. Padahal dunia adalah fatamorgana, kesenangan yang dirasakan akan menyisakan kehampaan, kepedihan, dan keletihan. Hanya ilmu agama yang bisa meredam ambisi manusia terhadap sifat serakah terhadap dunia.

Siapa yang tak mengharapkan anaknya menjadi seorang yang punya kedudukan? Sepertinya, hampir tak ada orangtua yang tak memiliki bayangan cita-cita setinggi langit untuk anak mereka. Biasanya, sejak si anak masih dalam buaian, mereka telah menyimpan berbagai keinginan dan harapan. Pokoknya, yang terbaiklah yang ada dalam angan-angan. “Semoga anakku menjadi ‘orang’, semoga memiliki masa depan yang lebih baik dari pada ibu bapaknya, semoga jadi orang yang paling ini, paling itu ….” dan sejuta lambungan ’semoga’ yang lainnya.

Tak berhenti sampai di situ, bahkan segala yang dapat mendukung tercapainya cita-cita itu pun turut disediakan sejak dini. Mulai dari tabungan biaya pendidikan, sampai prasarana yang diperkirakan menunjang pun disiapkan baik-baik. Berbagai pendidikan prasekolah pun diikuti agar melicinkan jalan si anak memperoleh cita-citanya atau justru cita-cita orangtuanya.

Namun di balik segala cita-cita, ada sebuah kemuliaan yang seringkali justru terluputkan, bahkan diremehkan oleh banyak orangtua. Padahal inilah kemuliaan hakiki yang akan didapatkan oleh si anak jika dia benar-benar meraihnya. Kemuliaan yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya yang mulia:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا العِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”(Al-Mujadilah: 21)

Demikianlah, dalam kalam-Nya ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa Dia akan mengangkat derajat orang yang beriman lagi berilmu di atas orang yang beriman namun tidak berilmu. Ketinggian derajat akan diperolehnya di dunia berupa kedudukan yang tinggi serta reputasi yang baik, juga akan dicapai pula di akhirat berupa kedudukan yang tinggi di dalam surga. (Fathul Bari 1/186) Baca selengkapnya…

ILMU ITU DIDATANGI

20 Februari 2010
tags:

Al-Hamdu Lillah, Dia-lah menciptakan kita dan amal kita, bertaqwalah kita kepada-Nya dan perbaikilah amal kita dengan syari’at-Nya dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah Tabaaraka wa Ta’ala baikan dan berkah-kan usaha antum dalam meniti jalan-Nya.

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia, hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan komprehensif.

Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan dan kezaliman. Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.

Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ التُّجَّارَ هُمْ الْفُجَّارُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ

“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah) Baca selengkapnya…

adakah isi dan kulit dalam islam?

20 Februari 2010

ADAKAH ISI DAN KULIT DALAM AJARAN ISLAM?

Oleh
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali

Islam adalah agama yang bagian-bagiannya saling melengkapi. Jalan Allah yang ikatan-ikatannya tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Kaum Muslimin tidak boleh mengikuti orang-orang Yahudi yang mengimani sebagian Al-kitab dan mengingkari sebagian lainnya.

Allah Ta’ala berfirman.

“Apakah kamu (Bani Israil) beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” [Al-Baqarah : 85]

Termasuk bid’ah yang merebak pada zaman ini, yaitu anggapan sebagian orang yang membagi Islam menjadi “kulit dan isi”, atau “kuliyat dan juz-iyyat”, atau “bentuk dan isi”, atau “ushul dan furu”, atau “bagian luar dan ruh”. Lalu mereka menyepelekan bagian agama yang dianggapnya sebagai kulit atau juz’iyyat, atau bentuk semata.

Memang sebagian ulama ada yang menggunakan istilah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) dalam menjelaskan ajaran Islam, tetapi mereka tidak bermaksud meremehkan furu’, apalagi meninggalkannya. Tetapi istilah itu untuk menunjukkan nilai pentingnya. Karena semua bagian agama Islam ini penting, namun nilai pentingnya tidaklah satu derajat

Adapun orang-orang yang memiliki anggapan sebagaimana di atas, sebagian besar mereka kemudian tidak menaruh perhatian terhadap syi’ar-syi’ar yang lahiriyah, yang mereka anggap sebagai kulit. Bahkan menuduh orang yang berpegang dengannyan sebagai orang yang menyibukkan diri dengan perkara cabang, dan orang yang mendakwahkannya dianggap mengobarkan perselisihan dan perpecahan. Sehingga mereka mementahkan berbagai masalah yang dikaji secara ilmiah dengan anggapan, bahwa itu merupakan masalah cabang dan diperselisihkan oleh umat.

Anggapan ini tentu saja tidak diterima oleh agama yang mulia ini. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa sisi.

Pertama : Ayat-Ayat al-Qur’An Dengan Tegas Dan Jelas Memerintahkan Agar Kaum Muslimin Berpegang Dengan Islam Secara Total.

Diantaranya Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan” [Al-Baqarah : 208]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata pada tafsir ayat ini : “Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya, yang mempercayai Rasul-Nya, agar mereka memegangi seluruh ikatan-ikatan dan syari’at-syari’at Islam, dan mengamalkan seluruh perintah-perintahnya, dan meninggalkan seluruh larangan-larangannya semampu mereka”

Setelah Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar masuk ke dalam Islam secara total. Dia memperingatkan manusia agar tidak mengikuti langkah-langkah setan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.

“Dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu” [Al-Baqarah : 208]

Ini menunjukkan bahwa hanya ada dua jalan saja, yaitu masuk ke dalam Islam secara total, atau mengikuti jalan-jalan setan yang memerintahkan untuk memisah-misahkan syari’at-syari’at Allah dan meremehkan sebagiannya. Baca selengkapnya…

Batasan safar

20 Februari 2010
tags:

Batasan Safar

Budi Ari
Thu, 22 Nov 2007 00:48:15 -0800

Wa’alaykumus salaam warahmatullaHi wabarakatuH.

Semoga penjelasan dibawah ini dapat bermanfaat:

Jika seorang musafir tinggal di suatu daerah untuk menunaikan suatu

kepentingan, namun tidak berniat mukim, maka dia [dapat] melakukan qashar terus menerus hingga meninggalkan daerah tersebut.  Ini adalah madzhab al Hasan, Qatadah, Ishaq dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ al Fatawa XXIV/18 dan al Muhalla V/23).

Mereka beragumen dengan dalil-dalil sebagai berikut :

Dari Jabir radhiyallaHu ‘anHu, dia berkata, “Nabi Shalallahu ‘alaiHi wa

sallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil tetap mengashar shalat”

(HR. Abu Dawud no. 1223, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi

Dawud no. 1094)

Dari Ibnu Abbas radhiyallaHu ‘anHu, dia berkata, “Nabi Shalallahu ‘alaiHi wa

sallam tinggal selama 19 hari sambil melakukan qashar.  Jika kami melakukan

safar selama 19 hari, maka kami melakukan qashar.  Dan jika lebih dari itu,

maka kami menyempurnakan shalat” (HR. Al Bukhari no. 1080, At Tirmidzi no. 547,

dan Ibnu Majah no. 1075)

Hadits-hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa musafir itu pada hakikatnya

tidak bertalian dengan batas waktu tertentu.  Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa

sallam terkadang mengqashar shalat selama delapan belas hari atau sembilan

belas hari atau pun dua puluh hari karena beliau musafir.

Para salafush shalih pun seperti Ibnu Umar, pernah bermukim di Azerbaijan

selama enam bulan, selama musim salju dan beliau terus menerus shalat dua

raka’at (HR. al Baihaqi III/152 dan Ahmad II/83, sanadnya shahih, lihat al

Irwa’ no. 577)

Semoga Bermanfaat

Batasan Safar

28 11 2007

Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala keluar sejauh tiga mil atau tiga farskah (Syu’bah ragu), dia mengqashar shalat. (Dalam suatu riwayat) : Dia shalat dua rakaat“.Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/129) dan Al-Baihaqi (2/146).
Susunan kalimat darinya adalah dari Muhammad bin Ja’far : ” Telah bercerita kepadaku Syu’bah, dari Yahya bin Yazid Al-Hanna’i yang menuturkan :

“Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqashar shalat. Sedangkan aku pergi ke Kufah maka aku shalat dua raka’at hingga aku kembali. Kemudian Anas berkata : (Lalu dia menyebutkan hadits ini)”. Baca selengkapnya…